Justifikasi Paparan Radiasi pada Medico-Legal
Pemeriksaan manusia menggunakan radiasi untuk keperluan medical check-up bagi para calon pegawai yang baru diterima kerja ataupun bagi pegawai secara rutin tiap tahun merupakan hal yang lumrah atau sudah menjadi kebiasaan yang cenderung kewajiban.
Begitu pula pemeriksaan kesehatan bagi mahasiswa baru, didalamnya juga ada pemeriksaan dengan radiasi yaitu foto thoraks atau rontgen. Kemudian hal itu juga dapat kita jumpai pada calon tenaga kerja yang akan ke luar negeri sebagai TKI, hampir pasti melewati yang namanya pemeriksaan dengan foto rontgen.
Lihatlah, banyak klinik pemeriksaan khusus calon tenaga kerja luar negeri di daerah Jakarta, pasti punya pesawat sinar-X untuk pemeriksaan thoraks, bahkan jenis pesawatnya pun kadang sudah menjadi persyaratan dari pihak agen yang di luar negeri, seperti harus pakai digital radiography (DR).
Sebenarnya, tahukah kita bahwa hal itu itu tidak menjadi kewajiban, bahkan cenderung dilarang jika tidak ada indikasi klinis? Mendiskusikan yang namanya indikasi klinis memang tidak mudah. Mungkin hanya dokter yang mampu menjelaskan hal tersebut. Namun, di internasional sudah ada rekomendasi jika hal tersebut memang harus dilakukan.
Di Internasional, istilah untuk pemeriksaan atau penyinaran radiasi pada manusia yang terkait dengan pekerjaan, legal ataupun asuransi tanpa adanya indikasi klinis disebut dengan Medico Legal. Istilah yang baru namun prakteknya sudah sangat biasa dilingkungan kita.
Pada suatu diskusi, seorang narasumber dari dinas tenaga kerja menyampaikan bahwa dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja, Pasal 2 Ayat (3) menyatakan “Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Kerja meliputi pemeriksaan fisik lengkap, kesegaran jasmani, rontgen paru-paru (bilamana mungkin) dan laboratorium rutin, serta pemeriksaan lain yang dianggap perlu”. Kemudian, pada Pasal 3 Ayat (3) menyatakan “Pemeriksaan Kesehatan Berkala meliputi pemeriksaan fisik lengkap, kesegaran jasmani, rontgen paru-paru (bilamana mungkin) dan laboratorium rutin serta pemeriksaan lain yang dianggap perlu”.
Artinya, pemeriksaan rontgen paru hanya bilamana mungkin dilakukan, merupakan hal yang tidak mandatori. Sekarang ini sudah ada metode lain untuk pemeriksaan paru sebelum dirujuk untuk foto thoraks yaitu pemeriksaan dengan spirometri. Pemeriksaan spirometri ini untuk mengetahui fungsi paru, sehingga jika ada gangguan dengan fungsi paru, baru dilakukan pemeriksaan lanjutan seperti foto paru. Nah, dari pemeriksaan spirometri ini dapat dipakai sebagai indikasi klinis untuk pembenaran pemeriksaan dengan rontgen.
Selain itu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2011 Tentang Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi Calon Tenaga Kerja Indonesia, disebutkan bahwa pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penunjang yang bertujuan untuk menunjang hasil pemeriksaan fisik dalam menegakkan diagnosa. Artinya, pemeriksaan radiologi dimasukkan dalam kategori pemeriksaan kesehatan penunjang dapat dimaknai jika ada indikasi klinis maka perlu dilakukan pemeriksaan radiologi.
Sebenarnya, peraturan yang ada sudah memberikan rambu-rambu bahwa pemeriksaan radiologi merupakan pilihan dan dapat dilakukan jika ada indikasi klinis untuk menegakkan diagnosis. Namun kenapa sekarang menjadi terbalik? Pemeriksaan radiologi seolah menjadi pemeriksaan utama dalam medical chek-up, dan tidak ada pemberitahuan atau informasi bahwa pemeriksaan itu merupakan pilihan yang harus dikomunikasikan dengan yang akan menjalani pemeriksaan. Lihatlah promosi yang dilakukan oleh pihak klinik atau rumah sakit dalam menawarkan jasa medical check-up, tiap jenis kelas medical check-up yang ditawarkan hampir selalu menyertakan pemeriksaan radiologi.
Jadi, sebagaimana diketahui bahwa dalam medical check-up didalamnya selalu memuat adanya pemeriksaan rontgen atau yang sejenis yang menggunakan modalitas radiasi. Seperti:
Selain itu, pemeriksaan/penyinaran radiasi pada manusia juga berpotensi dilakukan untuk keperluan:
Seluruh pemeriksaan itulah yang disebut dengan medico legal. Pemeriksaan dengan radiasi yang tidak terkait langsung dengan kondisi kesehatan yang diperiksa. Internasional, yaitu IAEA dalam Safety Standards Series No. GSR Part 3 menyebutkan bahwa ”Human imaging using radiation that is performed for occupational, legal or health insurance purposes, and is undertaken without reference to clinical indication, shall normally be deemed to be not justified.”
Pada peraturan nasional kita juga sudah mengharmonisasi dengan rekomendasi internasional tersebut, yaitu pada Peraturan Kepala (Perka) BAPETEN No. 8 Tahun 2011 tentang Keselamatan Radiasi dalam Penggunaan Pesawat Sinar-X Radiologi Diagnostik dan Intervensional menyebutkan bahwa "setiap pemeriksaan radiologi yang dilakukan untuk keperluan pekerjaan, legal, atau asuransi kesehatan tanpa indikasi klinis tidak diperbolehkan, kecuali diperlukan untuk:
a. memberi informasi penting mengenai kesehatan seseorang yang diperiksa; atau
b. proses pembuktian atas terjadinya suatu pelanggaran hukum.
Pemeriksaan radiologi tersebut didasarkan atas permohonan dokter atau dokter gigi yang dikonsultasikan dengan oganisasi profesi kesehatan yang terkait."
Menurut IAEA, pemerintah atau badan pengawas dapat membolehkan pencitraan manusia untuk praktik tertentu seperti medico legal jika memenuhi persyaratan justifikasi dan optimisasi.
Justifikasi dimaksudkan bahwa manfaat yang diperoleh lebih besar dari risiko radiasi yang diterima dengan mempertimbangkan aspek sosial ekonomi, etika, dan hak asasi manusia. Pembenaran/justifikasi terkait hal tersebut diatas sangat diperlukan karena terkait dengan paparan radiasi pada publik atau masyarakat. Artinya masyarakat atau publik harus dijamin proteksi dan keselamatan radiasinya.
Penerapan justifikasi ini harus bertahap atau bertingkat dengan mempertimbangkan :
Jika telah ditentukan melalui proses justifikasi yaitu suatu pemanfaatan tertentu penyinaran / pencitraan manusia menggunakan radiasi dijustifikasi, maka, pemanfaatan tersebut masuk dalam subyek pengawasan, sehingga berlaku seluruh persyaratan pemanfaatan yang ada di peraturan perundangan.
Badan pengawas, bekerja sama dengan instansi terkait lainnya, yaitu lembaga dan badan-badan profesional yang sesuai, harus menetapkan persyaratan pengawasan terhadap pemanfaatan dan untuk mereviu justifikasi yang telah diputuskan.
Pencitraan / paparan radiasi pada manusia yang dilakukan oleh tenaga medis dan ditujukan untuk pekerjaan, hukum atau asuransi kesehatan tanpa adanya indikasi klinis, maka :
a) Pemerintah harus memastikan, atas dasar konsultasi dengan otoritas terkait, organisasi profesi dan badan pengawas, bahwa pembatas dosis (dose constraints) harus ditetapkan dan diberlakukan untuk pencitraan tersebut;
b) Pemohon atau pemegang izin harus menerapkan persyaratan optimisasi untuk paparan medik dengan pembatas dosis digunakan sebagai pengganti tingkat panduan dosis untuk diagnostik.
Pemohon atau pemegang izin harus memastikan bahwa semua orang yang akan menjalani pemeriksaan dengan modalitas radiasi harus diinformasikan kemungkinan penggunaan modalitas lain yang non radiasi jika tersedia.
Sebagai bahan untuk melakukan justifikasi dari pemeriksaan medico legal, berikut ini beberapa pertanyaan yang jawabannya nanti dapat membantu dalam pertimbangan pemberian justifikasi atau tidak.
1. Informasi dasar
2. Keterlibatan orang yang dikenai paparan radiasi
3. Ketentuan hukum
4. Pelaksanaan penyinaran/pemaparan radiasi
5. Peralatan
Dengan menggunakan tool tersebut, kita dapat mereviu kebijakan maupun aturan mengenai pemeriksaan medico legal yang didalamnya ada prosedur dengan radiasi.
Demikian, semoga bermanfaat.
Pustaka
Begitu pula pemeriksaan kesehatan bagi mahasiswa baru, didalamnya juga ada pemeriksaan dengan radiasi yaitu foto thoraks atau rontgen. Kemudian hal itu juga dapat kita jumpai pada calon tenaga kerja yang akan ke luar negeri sebagai TKI, hampir pasti melewati yang namanya pemeriksaan dengan foto rontgen.
Lihatlah, banyak klinik pemeriksaan khusus calon tenaga kerja luar negeri di daerah Jakarta, pasti punya pesawat sinar-X untuk pemeriksaan thoraks, bahkan jenis pesawatnya pun kadang sudah menjadi persyaratan dari pihak agen yang di luar negeri, seperti harus pakai digital radiography (DR).
Sebenarnya, tahukah kita bahwa hal itu itu tidak menjadi kewajiban, bahkan cenderung dilarang jika tidak ada indikasi klinis? Mendiskusikan yang namanya indikasi klinis memang tidak mudah. Mungkin hanya dokter yang mampu menjelaskan hal tersebut. Namun, di internasional sudah ada rekomendasi jika hal tersebut memang harus dilakukan.
Di Internasional, istilah untuk pemeriksaan atau penyinaran radiasi pada manusia yang terkait dengan pekerjaan, legal ataupun asuransi tanpa adanya indikasi klinis disebut dengan Medico Legal. Istilah yang baru namun prakteknya sudah sangat biasa dilingkungan kita.
Pada suatu diskusi, seorang narasumber dari dinas tenaga kerja menyampaikan bahwa dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja, Pasal 2 Ayat (3) menyatakan “Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Kerja meliputi pemeriksaan fisik lengkap, kesegaran jasmani, rontgen paru-paru (bilamana mungkin) dan laboratorium rutin, serta pemeriksaan lain yang dianggap perlu”. Kemudian, pada Pasal 3 Ayat (3) menyatakan “Pemeriksaan Kesehatan Berkala meliputi pemeriksaan fisik lengkap, kesegaran jasmani, rontgen paru-paru (bilamana mungkin) dan laboratorium rutin serta pemeriksaan lain yang dianggap perlu”.
Artinya, pemeriksaan rontgen paru hanya bilamana mungkin dilakukan, merupakan hal yang tidak mandatori. Sekarang ini sudah ada metode lain untuk pemeriksaan paru sebelum dirujuk untuk foto thoraks yaitu pemeriksaan dengan spirometri. Pemeriksaan spirometri ini untuk mengetahui fungsi paru, sehingga jika ada gangguan dengan fungsi paru, baru dilakukan pemeriksaan lanjutan seperti foto paru. Nah, dari pemeriksaan spirometri ini dapat dipakai sebagai indikasi klinis untuk pembenaran pemeriksaan dengan rontgen.
Selain itu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2011 Tentang Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi Calon Tenaga Kerja Indonesia, disebutkan bahwa pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penunjang yang bertujuan untuk menunjang hasil pemeriksaan fisik dalam menegakkan diagnosa. Artinya, pemeriksaan radiologi dimasukkan dalam kategori pemeriksaan kesehatan penunjang dapat dimaknai jika ada indikasi klinis maka perlu dilakukan pemeriksaan radiologi.
Sebenarnya, peraturan yang ada sudah memberikan rambu-rambu bahwa pemeriksaan radiologi merupakan pilihan dan dapat dilakukan jika ada indikasi klinis untuk menegakkan diagnosis. Namun kenapa sekarang menjadi terbalik? Pemeriksaan radiologi seolah menjadi pemeriksaan utama dalam medical chek-up, dan tidak ada pemberitahuan atau informasi bahwa pemeriksaan itu merupakan pilihan yang harus dikomunikasikan dengan yang akan menjalani pemeriksaan. Lihatlah promosi yang dilakukan oleh pihak klinik atau rumah sakit dalam menawarkan jasa medical check-up, tiap jenis kelas medical check-up yang ditawarkan hampir selalu menyertakan pemeriksaan radiologi.
Jadi, sebagaimana diketahui bahwa dalam medical check-up didalamnya selalu memuat adanya pemeriksaan rontgen atau yang sejenis yang menggunakan modalitas radiasi. Seperti:
- Mahasiswa baru, harus melakukan pemeriksaan kesehatan, dan ada foto rontgen.
- Pegawai atau tenaga kerja baru juga harus melalui pemeriksaan kesehatan dan ada foto thorak atau rontgen.
- Bahkan sebelum melamar kerja keluar negeri seperti jadi TKI di luar negeri juga harus melalui pemeriksaan kesehatan yang didalamnya ada prosedur foto rontgen.
Selain itu, pemeriksaan/penyinaran radiasi pada manusia juga berpotensi dilakukan untuk keperluan:
- Pencarian obat terlarang atau senjata di dalam tubuh seseorang. Biasanya ini dilakukan di bandara atau di kepolisian ataupun dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas radiologi.
- Pencarian bukti adanya dugaan pelecehan anak yaitu mendiagnosis luka lama, patah tulang, pendarahan dan lainnya.
- Asuransi, untuk menemukan penyakit yang tersembunyi sebagai syarat asuransi jiwa.
- Diagnostik untuk pencarian bukti ada tidaknya suatu penyakit atau cedera sebagai barang bukti proses pengadilan.
- Diagnostik untuk penyakit tersembunyi pada imigran atau emigran misal penyakit tuberculosis (TB).
- Mendiagnostik tahanan terkait benda yang ditelan untuk tujuan penyelundupan, dan melarikan diri dari penjara.
Seluruh pemeriksaan itulah yang disebut dengan medico legal. Pemeriksaan dengan radiasi yang tidak terkait langsung dengan kondisi kesehatan yang diperiksa. Internasional, yaitu IAEA dalam Safety Standards Series No. GSR Part 3 menyebutkan bahwa ”Human imaging using radiation that is performed for occupational, legal or health insurance purposes, and is undertaken without reference to clinical indication, shall normally be deemed to be not justified.”
Pada peraturan nasional kita juga sudah mengharmonisasi dengan rekomendasi internasional tersebut, yaitu pada Peraturan Kepala (Perka) BAPETEN No. 8 Tahun 2011 tentang Keselamatan Radiasi dalam Penggunaan Pesawat Sinar-X Radiologi Diagnostik dan Intervensional menyebutkan bahwa "setiap pemeriksaan radiologi yang dilakukan untuk keperluan pekerjaan, legal, atau asuransi kesehatan tanpa indikasi klinis tidak diperbolehkan, kecuali diperlukan untuk:
a. memberi informasi penting mengenai kesehatan seseorang yang diperiksa; atau
b. proses pembuktian atas terjadinya suatu pelanggaran hukum.
Pemeriksaan radiologi tersebut didasarkan atas permohonan dokter atau dokter gigi yang dikonsultasikan dengan oganisasi profesi kesehatan yang terkait."
Menurut IAEA, pemerintah atau badan pengawas dapat membolehkan pencitraan manusia untuk praktik tertentu seperti medico legal jika memenuhi persyaratan justifikasi dan optimisasi.
Justifikasi dimaksudkan bahwa manfaat yang diperoleh lebih besar dari risiko radiasi yang diterima dengan mempertimbangkan aspek sosial ekonomi, etika, dan hak asasi manusia. Pembenaran/justifikasi terkait hal tersebut diatas sangat diperlukan karena terkait dengan paparan radiasi pada publik atau masyarakat. Artinya masyarakat atau publik harus dijamin proteksi dan keselamatan radiasinya.
Penerapan justifikasi ini harus bertahap atau bertingkat dengan mempertimbangkan :
- Manfaat dan kerugian dari pelaksanaan jenis prosedur pencitraan manusia;
- Manfaat dan kerugian dari tidak menerapkan jenis prosedur pencitraan manusia; c) Setiap masalah hukum atau etika yang berkaitan dengan introduksi jenis prosedur pencitraan manusia;
- Efektivitas dan kesesuaian jenis prosedur pencitraan manusia, termasuk kelayakan dari peralatan radiasi untuk digunakan;
- Ketersediaan sumber daya yang cukup untuk melakukan prosedur pencitraan manusia dengan aman selama periode pemanfaatan.
Jika telah ditentukan melalui proses justifikasi yaitu suatu pemanfaatan tertentu penyinaran / pencitraan manusia menggunakan radiasi dijustifikasi, maka, pemanfaatan tersebut masuk dalam subyek pengawasan, sehingga berlaku seluruh persyaratan pemanfaatan yang ada di peraturan perundangan.
Badan pengawas, bekerja sama dengan instansi terkait lainnya, yaitu lembaga dan badan-badan profesional yang sesuai, harus menetapkan persyaratan pengawasan terhadap pemanfaatan dan untuk mereviu justifikasi yang telah diputuskan.
Pencitraan / paparan radiasi pada manusia yang dilakukan oleh tenaga medis dan ditujukan untuk pekerjaan, hukum atau asuransi kesehatan tanpa adanya indikasi klinis, maka :
a) Pemerintah harus memastikan, atas dasar konsultasi dengan otoritas terkait, organisasi profesi dan badan pengawas, bahwa pembatas dosis (dose constraints) harus ditetapkan dan diberlakukan untuk pencitraan tersebut;
b) Pemohon atau pemegang izin harus menerapkan persyaratan optimisasi untuk paparan medik dengan pembatas dosis digunakan sebagai pengganti tingkat panduan dosis untuk diagnostik.
Pemohon atau pemegang izin harus memastikan bahwa semua orang yang akan menjalani pemeriksaan dengan modalitas radiasi harus diinformasikan kemungkinan penggunaan modalitas lain yang non radiasi jika tersedia.
Sebagai bahan untuk melakukan justifikasi dari pemeriksaan medico legal, berikut ini beberapa pertanyaan yang jawabannya nanti dapat membantu dalam pertimbangan pemberian justifikasi atau tidak.
1. Informasi dasar
- Apakah paparan ini dilakukan di negara kita?
- Bagaimana gambaran situasi sekarang atau yang akan terjadi dalam waktu dekat mengenai paparan ini?
- Bagaimana frekuensi dilakukannya paparan ini?
- Apakah paparan ini merupakan pilihan pertama?
2. Keterlibatan orang yang dikenai paparan radiasi
- Jika dilakukan penyinaran ini, apakah itu secara sukarela?
- Apa yang terjadi jika orang tersebut menolak?
- Apakah ada persetujuan tertulis yang diperlukan untuk paparan ini?
- Bagaimana penyebutan istilah yang ada di Negara kita? Apakah paparan medico legal, paparan medik, paparan pekerja, atau lainnya?
3. Ketentuan hukum
- Apakah ada ketentuan hukum yang meliputi praktek ini?
- Jika ada, apakah ketentuan itu khusus tentang praktek ini atau hanya disesuaikan dengan praktek ini?
- Apakah ada prosedur tertulis khusus (seperti: bagaimana melakukan penyinaran/pemaparan radiasi)?
- Apakah ada otoritas atau pihak yang berwenang untuk praktek ini?
4. Pelaksanaan penyinaran/pemaparan radiasi
- Siapa yang mengambil keputusan justifikasi untuk penyinaran ini?
- Dimana pemeriksaan tersebut dilakukan?
- Siapa yang bertanggung jawab untuk pemaparan itu sendiri?
- Apakah ada praktisi medik yang hadir ketika paparan dilakukan?
- Siapa yang melakukan ekspos (menekan tombol)?
- Apakah orang tersebut memiliki pelatihan khusus untuk tujuan ini? (termasuk optimasi)?
5. Peralatan
- Apakah ada peralatan khusus yang digunakan untuk eksposur ini?
- Jika ya, tentukan jenisnya?
- Jika tidak, jenis apa yang digunakan?
- Apakah peralatan tersebut sudah ada izin pemanfaatan atau berlisensi atau dilaporkan ke pihak yang berwenang?
- Siapa yang bertanggung jawab untuk pemeliharaan dan / atau kontrol kualitas dari peralatan tersebut?
- Apakah ada tenaga ahli yang memenuhi syarat untuk praktek ini di tempat tersebut?
- Apakah dilakukan pengukuran dan penilaian dosis?
- Jika ya, berapa nilai perkiraan dosis yang diterima (mSv)?
Dengan menggunakan tool tersebut, kita dapat mereviu kebijakan maupun aturan mengenai pemeriksaan medico legal yang didalamnya ada prosedur dengan radiasi.
Demikian, semoga bermanfaat.
Pustaka
- Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No. Per.02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.
- European Commission, Medico-Legal Exposures, Exposures With Ionising Radiation Without Medical Indication, Proceedings of the International Symposium Dublin, 4-6 September 2002, Radiation Protection 130, European Communities, 2003.
- Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2011 tentang Pemeriksaan Kesehatan Dan Psikologi Calon Tenaga Kerja Indonesia.
- International Atomic Energy Agency, Radiation Protection and Safety of Radiation Sources: International Basic Safety Standards Interim Edition, General Safety Requirements, IAEA Safety Standards Series No. GSR Part 3 (Interim), Vienna, 2011.
- BAPETEN, Peraturan Kepala (Perka) BAPETEN No. 8 Tahun 2011 tentang Keselamatan Radiasi dalam Penggunaan Pesawat Sinar-X Radiologi Diagnostik dan Intervensional, 2011.
- Website http://adhinurseto.blogspot.com/2013/01/pemeriksaan-kesehatan-untuk-calon.html, diakses tanggal 14 Mei 2013.