Mengenal Tingkat Panduan Dosis Radiasi Untuk Paparan Medik (Diagnostics Reference Level, DRL)
Rasional
Istilah tingkat panduan dosis yang ada pada Peraturan Kepala BAPETEN No. 8 Tahun 2011 berasal dari IAEA BSS 115 Tahun 1996 yang menggunakan terminologi “Guidance Level for Medical Exposure” yang nilainya diberikan pada lampiran untuk dapat diadopsi oleh Negara anggota yang belum memiliki tingkat panduan dosis nasional.
Istilah Diagnostic Reference Level (DRL) sendiri sudah diintroduksi oleh ICRP pada publikasi No. 73 Tahun 1996.
Kemudian pada BSS yang baru sebagai pengganti dari BSS 115 yaitu GSR Part 3 Tahun 2014, terminology guidance level diganti menajdi diagnostic reference level (DRL), bedanya pada dokumen GSR Part 3 tidak mencantumkan nilai – nilai DRL untuk tiap jenis pemeriksaan diagnostik maupun intervensional. Nilai-nilai tersebut dipasrahkan kepada Negara anggota untuk menentukan sendiri.
Makna dan Fungsi DRL
Sangat penting untuk diketahui dan dipahami terkait definisi dan penggunaan DRL, karena sampai saat ini masih ditemukan orang orang penting di negeri ini keliru dalam memaknai dan menggunakan apa itu DRL.
Kalau orang-orang penting di negeri ini keliru, maka bawahannya pun akan keliru karena mengikuti atasannya.
Apa itu DRL? DRL merupakan alat investigasi untuk mengidentifikasi dosis pasien yang sangat tinggi dan yang membutuhkan pengurangan (ICRP 60 dan 70).
Nilai DRL merupakan nilai yang mudah untuk diukur dan memiliki link (keterkaitan) langsung dengan dosis pasien.
Oleh karena itu DRL dibuat untuk membantu mewujudkan manajemen dosis pasien yang efisien dan untuk mengoptimalkan dosis pasien.
Bagaimana cara menentukan DRL?
Nilai DRL untuk setiap jenis pemeriksaan ditentukan pada nilai kuartil 3 (75 persentil) dari sebaran data dosis pasien yang diperoleh.
Data dosis pasien untuk tiap jenis pemeriksaan pada tiap pesawat sinar-X dikumpulkan sebanyak 10 - 20 pasien.
Data pasien dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelompok umur, yaitu kelompok bayi (umur sampai dengan 4 tahun), anak-anak (umur 5 – 14 tahun), dewasa (umur di atas 14 tahun).
Data diambil dari berbagai jenis rumah sakit dan klinik yang tidak hanya memiliki peralatan yang berkinerja baik (well-equipped).
Dari data yang diperoleh, dikelompokkan berdasarkan jenis pemeriksaan dan kelompok umur.
Kemudian dibuat distribusi normal, dan dipilih pada nilai kuartil 3 itulah nilai DRL-nya
Nah, karena dipilih pada nilai kuartil 3, maka aka nada data sebanyak 25% yang berada diatas nilai kuartil 3. Diapakan data ini???
Nah inilah fungsi nilai DRL yang ditetapkan pada nilai persentil yaitu 75 persentil. Ada 25 persen yang nilainya melebihi nilai DRL. Data yang 25% itu lah yang direviu, dievaluasi, Jika dapat direduksi maka harus direduksi, jika tidak dapat direduksi harus terjustifikasi.
Dengan adanya reviu, evaluasi dan tindakan korektif maka nilai DRL untuk periode selanjutnya akan turun atau lebih rendah dari nilai yang diperoleh saat ini.
Begitulah seterusnya, sehingga nilai DRL merupakan nilai yang dinamis mencapai nilai seminimal mungkin yang dapat dicapai dengan memperhatikan faktor informasi diagnostik, sosial dan ekonomi.
Itulah makna optimisasi proteksi untuk pasien.
PENTING UNTUK DIPERHATIKAN, bahwa jika dosis pasien ditemukan melebihi nilai DRL:
1. bukan berarti pelayanan radiologinya tidak baik,
2. bukan berarti dosis yang diterima pasien berlebih,
3. bukan berarti peralatan radiologinya kinerjanya buruk (tidak prima) atau tidak lolos uji kesesuaian.
Karena apa? DRL adalah alat investigasi, jadi kalau ada ditemukan nilai dosis pasien melebihi DRL maka harus dilakukan reviu terhadap penyebab dosis tersebut melebihi DRL. Apakah prosedur pemeriksaannya, apakah indikasi klinisnya, apakah kerumitan pemeriksaannya, apakah sumber daya manusianya, apakah peralatannya. Semua itu harus direviu sehingga diketahui dan terjustifikasi kenapa nilai dosisnya melebihi DRL. Kalau dari hasil reviu, ternyata dapat dilakukan optimisasi, maka perlu dilakukan tindakan koreksi/perbaikan yang sesuai. Kecuali dosis tersebut tidak dapat dihindari dan terjustifikasi secara medis.
Tindakan perbaikan dapat berupa, perbaikan prosedur, penyetelan atau setting ulang pemilihan kondisi pemeriksaan, pelatihan sumber daya manusia, perbaikan peralatan.
Jadi, sekali lagi perlu diperhatikan bahwa:
• DRL bukan nilai batas yang menentukan baik atau tidaknya pelayanan radiologi.
• DRL bukan nilai batas yang menentukan berlebih atau tidaknya dosis yang diterima oleh pasien.
Isu – Isu terkait Paparan Medik di Indonesia
a). Seberapa urgen kita harus memiliki Tingkat Panduan Dosis atau Diagnostic Reference Level (DRL) Nasional?
b). Apakah tingkat panduan dosis yang kita punya (Perka BAPETEN No. 8 Tahun 2011) sudah tidak relevan dan tidak mampu laksana?
c). Bagaimana gambaran / deskripsi / pemetaan dosis radiasi pasien pada pemeriksaan radiologi diagnostik & intervensional di Indonesia?
d). Tahukah kita bahwa Indonesia belum memiliki profil paparan medik?
e). Bagaimana cara menggunakan tingkat panduan dosis (DRL) untuk mengoptimumkan proteksi terhadap pasien?
f). Bagaimana hasil uji kesesuaian dapat digunakan untuk memastikan dipatuhinya tingkat panduan?
Urgensi Tingkat Panduan Dosis (DRL) Nasional
Pertama, sekarang marak dibahas mengenai isu bahwa kita harus punya nilai DRL sendiri atau DRL nasional. Namun kita lupa bahwa dari Tahun 2003, kita sudah punya tingkat panduan dosis atau DRL, yaitu tertuang dalam Perka BAPETEN NO. 01-P/Ka-BAPETEN/I-03 yang kemudian dicabut dan nilai-nilai DRL tersebut dipindah dalam Perka BAPETEN No. 8 Tahun 2011.
Pertanyaannya, apakah nilai nilai DRL itu sudah diimplementasikan? Jawabnya belum. Mungkin hanya beberapa penelitian mahasiswa dan peneliti professional yang sudah menerapkan itu.
Tingkat panduan dosis (DRL) yang kita punyai dari hasil adopsi BSS 115 saja belum dievaluasi, kini berkembang isu mau buat DRL nasional. DRL nasional seperti apa yang mau Indonesia buat?
Kedua, kemampuan atau kompetensi sumber daya (SDM, Peralatan, Prosedur, dan Finansial) apakah sudah diidentifikasi?
Kalau SDM mungkin sudah tersedia, peralatan belum tersedia memadai, prosedur ada dan tersedia, jaminan finansial yang memadai dan mampu memotivasi belum tersedia.
Selain itu, kemampuan melakukan dan membangun koordinasi antar institusi yang berkepentingan dalam membuat DRL. Siapa yang mempelopori, siapa yang jadi koordinator?
Peralatan yang diperlukan untuk DRL diantaranya adalah alat ukur dosis (TLD chips dan readernya, detektor ion chamber, KAP meter atau DAP meter, Pencil chamber CTDI untuk CT Scan).
semoga bermanfaat
- Proteksi pasien mulai diprioritaskan setelah keluarnya rekomendasi ICRP 60 dan BSS 115.
- Sejak Tahun 2003, BAPETEN mulai melakukan survei terkait dosis pasien radiologi diagnostik dan intervensional.
- Tahun 2007, terbit PP No. 33 Tahun 2007 yang didalamnya mempersyaratkan adanya optimisasi terhadap dosis pasien.
- Tahun 2011, terbit Perka BAPETEN No. 8/2011 yang menunjukkan bahwa BAPETEN telah memperkuat pengaturan untuk menjamin keselamatan pasien di atas keselamatan pekerja dan anggota masyarakat.
- Indonesia telah memiliki Tingkat Panduan Dosis untuk paparan medik, tertuang dalam Lampiran III Perka BAPETEN No. 8 / 2011 (Adopsi dari BSS 115)
- Praktisi medik wajib menggunakan tingkat panduan paparan medik untuk mengoptimumkan proteksi terhadap pasien (PP No. 33 / 2007, Pasal 39)
- Untuk memastikan tingkat panduan paparan medik dipatuhi maka wajib dilakukan uji kesesuaian untuk pesawat sinar-X radiologi diagnostik dan intervensional (PP No. 33 / 2007, Pasal 40)
- Tingkat Panduan untuk Paparan Medik ditetapkan oleh Kepala BAPETEN berdasarkan Standar Nasional Indonesia yang berlaku. (PP No. 33 / 2007, Pasal 38)
Istilah tingkat panduan dosis yang ada pada Peraturan Kepala BAPETEN No. 8 Tahun 2011 berasal dari IAEA BSS 115 Tahun 1996 yang menggunakan terminologi “Guidance Level for Medical Exposure” yang nilainya diberikan pada lampiran untuk dapat diadopsi oleh Negara anggota yang belum memiliki tingkat panduan dosis nasional.
Istilah Diagnostic Reference Level (DRL) sendiri sudah diintroduksi oleh ICRP pada publikasi No. 73 Tahun 1996.
Kemudian pada BSS yang baru sebagai pengganti dari BSS 115 yaitu GSR Part 3 Tahun 2014, terminology guidance level diganti menajdi diagnostic reference level (DRL), bedanya pada dokumen GSR Part 3 tidak mencantumkan nilai – nilai DRL untuk tiap jenis pemeriksaan diagnostik maupun intervensional. Nilai-nilai tersebut dipasrahkan kepada Negara anggota untuk menentukan sendiri.
Makna dan Fungsi DRL
Sangat penting untuk diketahui dan dipahami terkait definisi dan penggunaan DRL, karena sampai saat ini masih ditemukan orang orang penting di negeri ini keliru dalam memaknai dan menggunakan apa itu DRL.
Kalau orang-orang penting di negeri ini keliru, maka bawahannya pun akan keliru karena mengikuti atasannya.
Apa itu DRL? DRL merupakan alat investigasi untuk mengidentifikasi dosis pasien yang sangat tinggi dan yang membutuhkan pengurangan (ICRP 60 dan 70).
Nilai DRL merupakan nilai yang mudah untuk diukur dan memiliki link (keterkaitan) langsung dengan dosis pasien.
Oleh karena itu DRL dibuat untuk membantu mewujudkan manajemen dosis pasien yang efisien dan untuk mengoptimalkan dosis pasien.
Bagaimana cara menentukan DRL?
Nilai DRL untuk setiap jenis pemeriksaan ditentukan pada nilai kuartil 3 (75 persentil) dari sebaran data dosis pasien yang diperoleh.
Data dosis pasien untuk tiap jenis pemeriksaan pada tiap pesawat sinar-X dikumpulkan sebanyak 10 - 20 pasien.
Data pasien dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelompok umur, yaitu kelompok bayi (umur sampai dengan 4 tahun), anak-anak (umur 5 – 14 tahun), dewasa (umur di atas 14 tahun).
Data diambil dari berbagai jenis rumah sakit dan klinik yang tidak hanya memiliki peralatan yang berkinerja baik (well-equipped).
Dari data yang diperoleh, dikelompokkan berdasarkan jenis pemeriksaan dan kelompok umur.
Kemudian dibuat distribusi normal, dan dipilih pada nilai kuartil 3 itulah nilai DRL-nya
Nah, karena dipilih pada nilai kuartil 3, maka aka nada data sebanyak 25% yang berada diatas nilai kuartil 3. Diapakan data ini???
Nah inilah fungsi nilai DRL yang ditetapkan pada nilai persentil yaitu 75 persentil. Ada 25 persen yang nilainya melebihi nilai DRL. Data yang 25% itu lah yang direviu, dievaluasi, Jika dapat direduksi maka harus direduksi, jika tidak dapat direduksi harus terjustifikasi.
Dengan adanya reviu, evaluasi dan tindakan korektif maka nilai DRL untuk periode selanjutnya akan turun atau lebih rendah dari nilai yang diperoleh saat ini.
Begitulah seterusnya, sehingga nilai DRL merupakan nilai yang dinamis mencapai nilai seminimal mungkin yang dapat dicapai dengan memperhatikan faktor informasi diagnostik, sosial dan ekonomi.
Itulah makna optimisasi proteksi untuk pasien.
PENTING UNTUK DIPERHATIKAN, bahwa jika dosis pasien ditemukan melebihi nilai DRL:
1. bukan berarti pelayanan radiologinya tidak baik,
2. bukan berarti dosis yang diterima pasien berlebih,
3. bukan berarti peralatan radiologinya kinerjanya buruk (tidak prima) atau tidak lolos uji kesesuaian.
Karena apa? DRL adalah alat investigasi, jadi kalau ada ditemukan nilai dosis pasien melebihi DRL maka harus dilakukan reviu terhadap penyebab dosis tersebut melebihi DRL. Apakah prosedur pemeriksaannya, apakah indikasi klinisnya, apakah kerumitan pemeriksaannya, apakah sumber daya manusianya, apakah peralatannya. Semua itu harus direviu sehingga diketahui dan terjustifikasi kenapa nilai dosisnya melebihi DRL. Kalau dari hasil reviu, ternyata dapat dilakukan optimisasi, maka perlu dilakukan tindakan koreksi/perbaikan yang sesuai. Kecuali dosis tersebut tidak dapat dihindari dan terjustifikasi secara medis.
Tindakan perbaikan dapat berupa, perbaikan prosedur, penyetelan atau setting ulang pemilihan kondisi pemeriksaan, pelatihan sumber daya manusia, perbaikan peralatan.
Jadi, sekali lagi perlu diperhatikan bahwa:
• DRL bukan nilai batas yang menentukan baik atau tidaknya pelayanan radiologi.
• DRL bukan nilai batas yang menentukan berlebih atau tidaknya dosis yang diterima oleh pasien.
Isu – Isu terkait Paparan Medik di Indonesia
a). Seberapa urgen kita harus memiliki Tingkat Panduan Dosis atau Diagnostic Reference Level (DRL) Nasional?
b). Apakah tingkat panduan dosis yang kita punya (Perka BAPETEN No. 8 Tahun 2011) sudah tidak relevan dan tidak mampu laksana?
c). Bagaimana gambaran / deskripsi / pemetaan dosis radiasi pasien pada pemeriksaan radiologi diagnostik & intervensional di Indonesia?
d). Tahukah kita bahwa Indonesia belum memiliki profil paparan medik?
e). Bagaimana cara menggunakan tingkat panduan dosis (DRL) untuk mengoptimumkan proteksi terhadap pasien?
f). Bagaimana hasil uji kesesuaian dapat digunakan untuk memastikan dipatuhinya tingkat panduan?
Urgensi Tingkat Panduan Dosis (DRL) Nasional
Pertama, sekarang marak dibahas mengenai isu bahwa kita harus punya nilai DRL sendiri atau DRL nasional. Namun kita lupa bahwa dari Tahun 2003, kita sudah punya tingkat panduan dosis atau DRL, yaitu tertuang dalam Perka BAPETEN NO. 01-P/Ka-BAPETEN/I-03 yang kemudian dicabut dan nilai-nilai DRL tersebut dipindah dalam Perka BAPETEN No. 8 Tahun 2011.
Pertanyaannya, apakah nilai nilai DRL itu sudah diimplementasikan? Jawabnya belum. Mungkin hanya beberapa penelitian mahasiswa dan peneliti professional yang sudah menerapkan itu.
Tingkat panduan dosis (DRL) yang kita punyai dari hasil adopsi BSS 115 saja belum dievaluasi, kini berkembang isu mau buat DRL nasional. DRL nasional seperti apa yang mau Indonesia buat?
Kedua, kemampuan atau kompetensi sumber daya (SDM, Peralatan, Prosedur, dan Finansial) apakah sudah diidentifikasi?
Kalau SDM mungkin sudah tersedia, peralatan belum tersedia memadai, prosedur ada dan tersedia, jaminan finansial yang memadai dan mampu memotivasi belum tersedia.
Selain itu, kemampuan melakukan dan membangun koordinasi antar institusi yang berkepentingan dalam membuat DRL. Siapa yang mempelopori, siapa yang jadi koordinator?
Peralatan yang diperlukan untuk DRL diantaranya adalah alat ukur dosis (TLD chips dan readernya, detektor ion chamber, KAP meter atau DAP meter, Pencil chamber CTDI untuk CT Scan).
semoga bermanfaat